Lewat
Manusia Setengah Salmon, Raditya Dika menunjukan kematangannya. Tidak
hanya matang berakting, namun juga matang bercerita, menyisipkan suatu
renungan tentang pelajaran mengubur masa lalu dalam film terbaru besutan
sutradara Herdanius Larobu itu. Raditya Dika menjanjikan oase bagi
penonton (dan pembaca) yang dahaga tawa.
Secara
cerita, Manusia Setengah Salmon adalah loncatan terbaik Raditya Dika.
Pada buku-buku terdahulunya, Kambing Jantan, Cinta Brontosaurus yang
juga diangkat ke layar lebar, Raditya Dika terlalu sibuk pada aspek
lelucon dan komedi. Tak jarang, baik di filmnya, penonton dan juga
pembaca yang menonton, merasakan terlalu banyak adegan lucu yang
dipaksakan, tidak menggali unsur tawa dari peristiwa. Namun, bergeliat
di dunia kreatif semacam ini, tentu saja juga karena terlibat dalam film
layar lebar Cinta Dalam Kardus, kreator Malam Minggu Miko dan Malam
Minggu Miko 2, adalah sekelumit perjalanan yang menempa karier
kreatifnya. Ia dimatangkan karena pengalaman-pengalaman itu. Maka kita
tidak akan lelah lagi, seperti saat menyaksikan aksi pertama Radit di
layar lebar, saat memerenkan karakter Radit di film Kambing Jantan.
Manusia Setengah Salmon jauh dari kesan film bergenre drama komedi
yang kerap menjual lelucon kosong. Perjalanan untuk berpindah, adalah
sentral ceritanya. Sebagaimana karya adaptasi buku, Dika bercerita
tentang pilihan Mamanya (Dewi Irawan) yang memutuskan untuk pindah
rumah. Tentu saja tidak mudah bagi Dika untuk menerima keputusan itu.
Terlalu banyak kenangan yang ia miliki di rumah itu. Ibarat sebuah
beringin yang telah tumbuh lama, bertahun-tahun di sebuah tempat,
mustahil untuk dipindahkan. Beringin itu telah mengakar di sana. Begitu
juga kisah cintanya. Selepas putus dengan Jessica (Eriska Rein), Dika
masih dihantui bayang-bayang. Terlalu susah untuk melepaskan diri dari
belenggu masa lalu.
Namun, ketika menyadari semua bertumbuh, menyadari apa yang ada di
sekitarnya telah berubah, misalnya Edgar yang beranjak usia, ayahnya
yang semakin menua, Dika tersentak. Harusnya, perubahan semua itu dapat
dijalani dengan mudah seiring dengan berubahnya cara pikir dan
kematangan dirinya dalam menjalani hidup. Rupanya, Dika pun tahu,
terlalu lama dibelenggu masa lalu akan menyakitkan. Karena itu, ia
menyetujui pilihan Mamanya untuk pindah. Ada hal yang ingin dikatakan
Dika saat dia dan Mamanya berpetualangan mencari rumah yang baru. Saat
kita ingin hijrah, tak mudah bagi kita untuk menemukan pengganti yang
baru itu. Kita tentu saja mencari sesuatu yang standarnya minimal sama
atau harus di atas yang lama. Untuk meraih itu, kita harus melewati
perjalanan menemukan, sampai bersua yang cocok, persis pilihan hati yang
akan berkata, ya, aku akan nyaman dengan ini. Sampai akhirnya Dika bertemu Patricia (Kimberly Ryder), sosok yang baru itu.
Akhirnya, perjalanan menemukan itu juga membuat Dika dan Mamanya
menemukan rumah. Saat berkemas-kemas, tak sengaja, Dika menemukan
potret-potretnya bersama Jessica. Saat kita beranjak ke hal yang baru,
yang lama harus ditinggalkan. Biar tidak terus mengusik pikiran.
Rupanya, Dika belum cukup siap untuk beranjak (hati). Di rumah ini,
tentu saja, ada kenangan saat Jessica makan malam bersama di rumahnya,
dan kenangan bersama adik-adiknya tercinta. Di rumah barunya, Dika
mengeluh pada Mamanya kalau ia tidak hafal letak gelas. “Di rumah yang
lama aku kan tahu di mana letak gelas,” katanya saat bangun pagi.
Mamanya menanggapi enteng. “Dika, butuh adaptasi!” Lagi-lagi, sebagai
penulis cerita, Dika berusaha mengajak pembaca dan juga penonton untuk
belajar menyesuaikan diri terhadap segala hal yang baru. Kenyamanan
lahir karena pembiasaan diri. Dika tak suka, anak-anak kompleknya ribut
di depan kamarnya. Ia mengeluhkan ini, namun tidak cukup bisa
menghentikan gangguan itu. Gangguan yang sama dideritanya, saat Patricia
datang ke butik bersamanya. Tak sengaja, Dika meraih sebuah baju yang
sama persis dengan yang dimiliki Jessica. Dika pun dihantui lagi pikiran
tentang kekasih lamanya itu. Betapa pun ia telah mengusir jauh-jauh
segala tentang Jessica, ia ternyata tidak cukup siap. Masa lalu adalah
hantu. Bisa datang kapan saja, seenaknya. Ya, Jessica datang tiba-tiba
di depan pintu rumahnya. Membuat tabungan kenangannya pecah lagi.
Puncaknya adalah suatu hari ketika kencan ke bioskop dengan Patricia.
Saat membayar tiket, Patricia melihat foto Jessica di dompet Dika.
Patricia yang tak enak hati, minta putus di tempat.
Dari situlah, Dika belajar dewasa. Ternyata, Dika tahu, masalah
apapun akan dapat terselesaikan dengan mengomunikasikan masalah itu. Katakanlah apa yang tidak membuat kita nyaman, walaupun perlu perjuangan karena kita tak cukup siap mengatakannya.
Bagian ini digambarkan dengan probelem Dika dan sopir pribadinya. Ia
tahu, dirinya sangat dilema antara memecat atau mengorbakan dirinya
untuk terus-terusan tersiksa. Ini perkara yang sama dengan asmaranya,
apakah ia akan melupakan semua tentang Jessica, barang-barang
pemberiannya, foto-foto dengannya, atau terus-terusan membiarkan dirinya
tersiksa, karena sosok dan nama Jessica masih hidup di pikirannya.
Dengan memberanikan diri untuk jujur pada sopirnya itu, Dika akhirnya
terbebas dari ‘problem ketek’. Namun perkara asmaranya belum usai. Ia
masih butuh menjelaskan pada Patricia bahwa setelah ini, ia tidak akan
lagi menyebut nama siapa-siapa, karena hanya ada satu nama di
pikirannya: Patricia.
Hanya saja, judul buku yang juga menjadi judul filmnya, tidak melekat
erat pada jalinan cerita yang utuh. Memang benar bahwa keputusan
berkomitmen adalah keputusan untuk berpindah seperti rombongan jutaan
salmon yang menempuh perjalanan 1.448 km untuk kawin, dibayangi berbagai
ancaman predator. Karena konsistensi untuk tetap menggunakan ciri khas
memberi judul karyanya dengan term-term seputar binatang, akhirnya Dika
menjadi korban kehilangan relevansi. Malangnya, bagian yang menjelaskan
(keterkaitan judul film dengan cerita) ini, terkesan sangat dipaksakan.
Yaitu lewat penggambaran editor yang selalu menggentayangi Dika. Adegan
terakhir, saat sang editor muncul di kolam renang, mencerminkan
‘memaksakan’ adegan. Terlihat upaya menyambung-nyambungkan judul.
Tapi ada satu hal yang menggelitik, bahwa tercium aroma kejenuhan
Raditya Dika. Manusia Setengah Salmon (baik buku ataupun film) adalah
loncatan tertinggi yang pernah dibuatnya. Sekarang, tinggal penentuan.
Apakah dia akan tetap bertahan di batu tertinggi itu, di pijakan itu,
atau terjun bebas. Artinya, konsitensi Dika untuk tetap mengusung
karya-karya semacam ini tidak akan lekang dari dirinya, atau justru
mencoba hal yang baru alias keluar dari zona nyaman. Persis di awal
film, editor menolak karya Dika karena merasa Dika butuh menulis sesuatu
yang baru (fresh), agar tak monoton. Sekarang, semua buku yang
judulnya berunsur binatang, sudah difilmkan semua. Berikutnya, setelah
lepas dari belenggu masa lalu, Dika akan melewati dua tugas besar:
mencari cari untuk tetap bertahan (konsisten), atau mencoba yang baru
dengan pertaruhan, siap-siap jatuh bangun (lagi). (*)
sumber: http://dodiprananda.wordpress.com/tag/raditya-dika/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar